Shalom Sahabat KM,
Hati nurani atau suara hati lebih bersifat subyektif, maksudnya bahwa hati nurani kita sangat dipengaruhi oleh “diri sendiri” (yaitu yang menurut “aku” baik atau buruk). Suara hati mencerminkan segala pengertian dan prasangka masing-masing individu, sehingga jelas merupakan “sesuatu yang bersumber pada diri sendiri”. Dalam hal ini kita tidak boleh mengidentifikasikan dan mengidentikkan hati nurani dengan suara Allah. Walaupun hati nurani tidak dapat diidentikkan dan tidak boleh diidentifikasikan sebagai suara Allah, tetapi hati nurani berhubungan dengan “yang Ilahi”, sebab komponen itu memang dari Allah dan diharapkan dapat se-chemistry atau sewarna dengan Allah, sehingga subyektivitasnya dapat dipercaya. Subyektivitasnya dapat dipercaya sebab seirama dengan Allah. Sampai pada level ini neshamah manusia dapat menjadi pelita Tuhan. Kalau hati nurani digarap dengan benar, maka menjadi hati nurani yang “se-chemistry dengan Allah”, ini disebut sebagai nurani Ilahi. Tetapi kalau tidak digarap dengan baik, maka yang baik menjadi jahat.
Orang yang memiliki hati
nurani yang berkelas “Ilahi” tidak membutuhkan hukum atau peraturan untuk
memiliki kelakuan yang baik. Tidak perlu diancam hukuman untuk melakukan hukum,
sebab “polisi” ada di dalam dirinya sendiri (Roma 2:15). Kalaupun seseorang
berbuat baik, bukan hanya karena ancaman neraka, tetapi hati nuraninya memang
terbentuk demikian, yaitu tidak bisa berbuat salah. Dalam Roma 13:5 Paulus
menulis kalimat ini: Sebab itu perlu kita menaklukkan diri, bukan saja oleh
karena kemurkaan Allah, tetapi juga oleh karena suara hati kita.
Oleh karena hati nurani
belum tentu bisa mewakili suara Allah, maka hati nurani belum tentu dapat
selalu dipercaya. Belum tentu suara hati nurani sesuai dengan pertimbangan dan
keputusan Allah, oleh sebab itu hati nurani harus tunduk pada otoritas Firman
Allah dan pengadilan Allah. Bagi orang pilihan Allah yang direncanakan Allah
untuk sempurna, seseorang harus selalu mempertimbangkan kemungkinan kesalahan
pada suara hati nuraninya. Menyadari hal ini, maka orang percaya tidak boleh
berhenti dalam memperbaharui pikiran dan hatinya, sampai makin memiliki
pengertian seperti pengertian Allah. Sehingga suara hati dapat mewakili suara
Allah dan segala pertimbangan dan keputusannya sesuai dengan yang Allah
inginkan. Ini barulah tidak meleset. Inilah yang disebut dengan hati nurani
yang murni, yaitu keberadaan manusia batiniah yang tidak menyimpan niat
kejahatan (Kis. 23:1; 24:16; 2Kor. 1:12).
Keberadaan hati nurani yang
murni ini membuat seseorang memiliki beban yang tulus terhadap keselamatan jiwa
orang lain. Seperti Tuhan juga tidak menghendaki seorangpun binasa, ia akan
rela mengorbankan apa pun demi keselamatan jiwa orang lain (Roma 9:1-3).
Orang-orang seperti ini melayani bukan karena upah atau imbalan yang
disediakan. Di dalam dirinya ada “beban” dan irama melayani. Hati nurani yang
terbeban bagi keselamatan jiwa orang lain pasti berusaha untuk tidak menjadi
batu sandungan bagi orang lain. Ia rela kebebasannya terampas demi supaya
menjadi berkat bagi sesama (1Kor. 10:25-29). Kalau berbuat suatu kesalahan,
maka hati nuraninya sangat terganggu. Hal ini menjadi hukuman bagi orang
tersebut.
Dalam proses pembentukan
hati nurani, yang memegang peranan adalah jiwa. Unsur yang masuk dalam jiwa
menentukan kualitas jiwanya; dan kualitas jiwa menentukan kualitas hati
nuraninya. Kalau unsur-unsur dunia atau dari kuasa jahat yang masuk ke dalam
jiwa, maka hati nuraninya rusak. Unsur-unsur dunia adalah keinginan daging,
keinginan mata dan keangkuhan hidup (1Yohanes 2:15-17). Ini sama dengan percintaan
dunia atau mengasihi dunia (Yakobus 4:1-4). Hal inilah yang menyeret jiwa dan roh
ke dalam kegelapan abadi. Itulah sebabnya dikatakan dalam Firman-Nya bahwa
bukan tanpa alasan kalau Kitab Suci berkata: “Roh yang ditempatkan Allah di
dalam diri kita, diingini-Nya dengan cemburu!” (Yakobus 4:5). Allah mengingini roh
yang keluar dari diri-Nya yang ada pada manusia dapat kembali kepada-Nya. Kalau
hati nurani seseorang baik, maka roh atau neshamah-nya menjadi bersih atau
kudus sehingga dilayakkan menerima kemah baru; kembali kepada Bapa dalam
Kerajaan Surga.
Amin.
(Oleh Kristus Ministry)
(sumber : truth-media.com)
No comments:
Post a Comment